, ,

OnThisDay: 7 Tahun Tragedi Palu-Donggala, Ribuan Tewas dalam Gempa, Tsunami, dan Likuefaksi

oleh -145 Dilihat
oleh
WANI

Mediaex palu – OnThisDay: 7 Tahun Tragedi Palu-Donggala, Ribuan Tewas dalam Gempa, Tsunami, dan Likuefaksi Tujuh tahun sudah berlalu sejak bencana dahsyat mengguncang Palu, Donggala, dan sekitarnya pada 28 September 2018. Gempa berkekuatan magnitudo 7,4 yang disusul tsunami serta fenomena langka likuefaksi, menorehkan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Ribuan jiwa melayang, puluhan ribu rumah hancur, dan luka mendalam tertinggal hingga kini.OnThisDay: 7 Tahun Tragedi Palu-Donggala, Ribuan Tewas dalam Gempa, Tsunami, dan Likuefaksi


baca juga:Direktur RSUD Undata Bantah Tuduhan Pelayanan Bobrok, Ungkap Langkah Pembenahan

OnThisDay: 7 Tahun Detik-Detik Mengguncang

Sore itu, sekitar pukul 18.02 WITA, bumi berguncang hebat. Dalam hitungan menit, ombak tsunami setinggi 4–7 meter menerjang pesisir Teluk Palu. Seakan belum cukup, beberapa kawasan seperti Petobo, Balaroa, dan Jono Oge porak poranda akibat likuefaksi—tanah yang berubah seperti lumpur, menelan ribuan rumah dan warganya.

Fenomena tiga bencana sekaligus itu membuat Palu dan Donggala lumpuh total. Listrik padam, jaringan komunikasi terputus, dan akses jalan utama terputus akibat retakan dan longsoran.


Korban dan Kehilangan

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lebih dari 4.300 orang meninggal dunia, puluhan ribu luka-luka, dan lebih dari 170 ribu orang harus mengungsi. Ribuan lainnya dinyatakan hilang, terutama di lokasi likuefaksi yang hingga kini menjadi “kuburan massal” alami.

Seorang penyintas, Nurhayati, masih mengingat jelas malam itu. “Kami hanya bisa lari tanpa tahu ke mana. Rumah hilang, keluarga banyak yang tidak selamat. Sampai sekarang, rasanya seperti mimpi buruk yang tidak pernah selesai,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.


Luka yang Masih Tertinggal

Meski tujuh tahun telah berlalu, jejak bencana masih terasa kuat. Banyak penyintas yang masih tinggal di hunian sementara (huntara), menunggu realisasi pembangunan hunian tetap (huntap). Trauma psikologis juga menghantui, terutama anak-anak yang kehilangan orang tua atau rumah.

Pemerintah pusat dan daerah terus berupaya membangun kembali Palu dan Donggala, namun proses rehabilitasi dan rekonstruksi berjalan lambat. “Kami ingin kehidupan normal kembali, tapi setiap tahun peringatan bencana, rasa kehilangan itu muncul lagi,” kata Ahmad, warga Petobo.


Pelajaran Besar

Tragedi Palu-Donggala menjadi pengingat betapa rentannya Indonesia terhadap bencana alam. Selain menelan korban besar, peristiwa ini juga membuka mata banyak pihak tentang pentingnya mitigasi, sistem peringatan dini, tata ruang yang lebih disiplin, serta kesiapsiagaan masyarakat.

Para ahli menekankan bahwa gempa, tsunami, maupun likuefaksi tidak bisa dihindari, tetapi dampaknya dapat diminimalkan jika kesadaran bencana ditanamkan sejak dini.


Doa untuk Korban

Hari ini, di sejumlah titik di Palu, masyarakat menggelar doa bersama untuk mengenang para korban. Lantunan doa, air mata, dan tabur bunga menjadi simbol bahwa meski waktu terus berjalan, ingatan akan tragedi 28 September 2018 tak akan pernah pudar.

“Bencana mengajarkan kita tentang kehilangan, tapi juga tentang pentingnya bangkit bersama. Palu adalah bukti bahwa meski hancur, kami tetap berdiri,” ujar seorang tokoh masyarakat.


Tujuh tahun setelah tragedi, Palu dan Donggala terus berbenah. Kota itu kini bukan hanya simbol duka, tetapi juga simbol ketangguhan dan harapan.

Dior

No More Posts Available.

No more pages to load.